Jalan Sunyi Penulis, Masih Relevankah Zaman Sekarang?

Any change, even a change for the better, is always accompanied by discomfort.

-Arnold Bennett.

Takdir seorang penulis konon adalah menempuh jalan sunyi dalam menuliskan karya-karyanya. Seperti sebuah memoar karya Muhidin M. Dahlan.

Ya, penulis memang sebagian besar proses kerjanya berada di tengah kesunyian.

Jalan Sunyi Penulis, Masih Relevankah Zaman Sekarang?

Mencari ide dengan berkontemplasi dengan dirinya sendiri, mengurung diri di perpustakaan demi mencari buku-buku referensi yang terkait dengan naskahnya. Bersembunyi berhari-hari bahkan berminggu-minggu di kamar untuk mengerjakan naskahnya hingga dikira pesugihan dengan cara babi ngepet adalah hal biasa.

Bahkan saat menawarkan karyanya pun, ia hanya mengontak penerbit lewat surel, paling banter percakapan telepon atau WA. Tak banyak interaksi dengan manusia lain dalam proses penciptaan karyanya?

Sebuah obrolan menggelitik hadir ketika aku bertemu seorang teman sesama penulis di sebuah kafe. Ia bercerita kalau sekarang ia jadi content creator selain penulis buku. Tiap hari, ia membuat postingan video pendek tentang kegiatannya sebagai penulis dan seluk-beluknya di Instagram dan TikTok.

Aku mengangguk-angguk saja. Hm, rasanya aku tak punya energi untuk membuat postingan ala konten creator Gen Z yang ciamik. Memotret, mendesain konten di canva, lalu mengeditnya di Capcut, belum lagi membuat caption dan tagar untuk satu postingan rasanya melelahkan, ya. 

“Namanya penulis harus up to date dengan perkembangan zaman. Penulis zaman sekarang tuh harus, wajib, kudu punya medsos!” begitu kata temanku yang juga seorang penulis.

“Lho, bukannya penulis itu berkarya di jalan sunyi? Untuk apa medsos?”

“Jalan sunyinya sudah ditutup! Sekarang, penulis harus berinteraksi dengan para pembaca untuk meniti jalan berbunga!”

“Jalan berbunga apaan? Kamu abis sarapan apa tadi, kok ngelindur?”

Kisah penulis yang berkarya di jalan sunyi itu alias introver ini sempat kujadikan ide cerita di novel anak yang kutulis belasan tahun lalu. Judulnya Melacak Penulis Misterius. Ceritanya tentang Nailah si kutu buku yang mengidolakan Kirey penulis novel kesayangannya.

Sayangnya, identitas Kirey ini tidak diketahui.ia tak punya kontak yang bisa dihubungi, fotonya tak ada di media sosial dan tentu saja ia tak punya medsos. Kalau di Indonesia, mungkin penulisnya Ilana Tan yang misterius ya? Hehe.

Nailah ingin mengungkapkan kecintaannya pada novel karya Kirey tapi tak tahu bagaimana cara untuk bertemu dengannya. Jadilah, Nailah merencanakan akan mengejar Kirey untuk berkenalan. Ternyata, Kirey penulis introvert ini karena ada alasannya yaitu ia tidak siap pembaca mengetahui kalau ia adalah seorang tuna netra.

Nah, bagaimana dengan penulis zaman sekarang, apakah masih kekeuh menempuh jalan sunyi?

Suatu hari, aku bertemu Pimpinan Redaksi sebuah penerbit ternama di Yogya. Kami mengobrol ngalor-ngidul tentang dunia penerbitan. Ia memaparkan bagaimana efek dunia media sosial sangat mengangkat dunia penerbitan saat ini.

Para penulis muda yang bergerak di media sosial, berbagai pemikiran dan perasaannya ke follower berhasil meraih hati banyak pembaca mereka dan walhasil, penulis muda zaman sekarang followernya bejibun, memiliki base penggemar dan berdampak pada penjualan buku mereka yang luar biasa. Bahkan saat PO saja pesanan buku mereka meledak. Hal ini membawa angin segar pada dunia penerbitan Indonesia.

Apa yang harus dilakukan para penulis zaman sekarang? apakah harus mengabaikan jalan sunyi dan berjalan penuh gaya menyusuri jalan berbunga?

Menjalin Kata dengan Pembaca di Medsos

Saat ini, banyak penulis muda Indonesia mendominasi dunia penerbitan Indonesia selain penulis senior seperti Leila S. Chudori, Tere Liye dan Dee Lestari.

Sebut saja JS. Khairen dengan deretan buku larisnya di Gramedia Pustaka Utama. Penulis muda keturunan Minang ini punya 469 ribu follower di Instagram. Ada pula penulis Syahid Muhammad yang  menulis beberapa buku bertema kesehatan mental ini juga aktif di Instagram dengan 70 ribu follower. Penulis beberapa novel laris seperti Resign dan Ganjil-Genap, Almira Bastari juga rajin menyapa fansnya di IG dengan pengikut 19.200.

Mereka tak hanya membagikan karya terbaru mereka di media sosial, tapi juga mengunggah keseharian mereka dengan foto dan video yang enak dipandang mata. Mereka juga giat berbagi pemikiran dan perasaan di media sosial sehingga pembaca buku mereka mudah berinteraksi dan sharing dengan mereka.sehingga terjalinlah keterikatan emosional dengan para pembaca di medsos.

Jalan Sunyi Penulis, Masih Relevankah Zaman Sekarang?

Dengan begitu, para penulis berbakat ini bisa menerima saran dan kritikan serta pujian untuk karya-karya mereka. Di sinilah, penulis belajar bagaimana berinteraksi dengan para pembacanya. Bagaimana ia menyikapi tak hanya pujian tapi juga bisa kritikan bahkan hujatan tentang karyanya. Apakah ia menerimanya dengan marah-marah? Atau bisa menerima makian dengan lapang dada?

Ya, memang tak bisa dimungkiri melemparkan karya ke khalayak umum berarti penulis siap menerima pujian, saran, kritikan bahkan cercaan terhadap karyanya.

Pernah nih, aku  mendapatkan kritikan di Facebook saat buku komediku terbit. Isinya memang cukup membuat jantungku deg-degan. Kata seorang pembaca,  karyaku tidak ada isinya. Tidak berkualitas dan menyebarkan hal-hal buruk. Jeder! Apakah setelah itu aku akan balik menyerang si komentator? Atau aku jadikan komentarnya sebagai pemacu semangat untuk berkarya lebih baik lagi?

Berpromosi via Medsos

Berinteraksi dengan pembaca, berbagi pemikiran dan perasaan dengan para pengikutmu di media sosial otomatis membuatmu lebih mudah berpromosi memperkenalkan karya barumu. Jika kamu sedang proses menulis naskah baru, kamu bisa ceritakan seluk-beluk naskahmu semacam teaser behind the laptop prosesmu berkarya.

Dengan begitu, para pengikut akun media sosialmu yang biasanya juga pembaca karyamu akan menunggu kehadiran karya barumu dengan tak sabar. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui, kan? Tak heran, kebanyakan penulis muda ini seperti kata Mas Tepe setiap meluncurkan karya baru dan buka PO pasti jumlah buku yang dipesan membludak dan bikin penulisnya pegal-pegal karena harus menandatangani ratusan hingga ribuan buku. Keren, ya!

Menggunakan Chat GPT untuk Menambah Ide

Ketika ramai-ramai menggunakan chat GPT, aku seperti biasa mlipir. Aku kurang suka mengikuti tren termasuk perkembangan teknologi di bidang tulis-menulis. Menurutku, chat GPT seperti menyontek dan bukan hasil karya kita sendiri.

Namun, pikiranku lebih terbuka ketika bertemu seorang sahabat yang blogger dan juga seorang copywriter. Ia cerita, kalau chat GPT sangat membantunya menemukan ide menulis artikel. Terkadang menyediakan outline atau kerangka karangan. Chat GPT ini membantu sekali apalagi di saat kita terkena writer block. Aku langsung berpikir, benarkah?

Setelah kucoba membuka webnya dan mencoba sendiri Chat GPT dengan memasukkan pertanyaan di kolomnya. Aku terkejut. Oh, ternyata benar juga kata sahabatku ini. Chat GPT memang bisa jadi musuh penulis. Konon, ia merebut pekerjaan para penulis.

Tapi, jika dimanfaatkan dengan benar ia bisa membantu kita menyelesaikan pekerjaan menulis lebih cepat. Kita bisa mendapatkan ide baru dari jawaban Chat GPT. Usulnya bisa jadi pemantik ide untuk kita mulai menulis dan pada akhirnya akan berkembang sendiri sesuai proses berkarya kita.

Mempelajari Hal Baru

Penulis yang sudah lama berkecimpung di dunia tulis-menulis ada yang terjangkit sindrom senioritas. Kita sudah lebih dulu nyemplung di dunia ini makanya kadang kita jumawa, memandang sebelah mata para yunior. Padahal, dalam dunia penulisan yang penting adalah ide. Teknik penulisan akan berkembang seiring waktu. Jadi, jangan merasa minder.

Seorang penulis senior ternyata harus selalu rajin mengisi dirinya dengan mempelajari hal baru. Hal ini dilakukan agar ide-ide tetap segar dan tak ketinggalan masa.

Jalan Sunyi Penulis, Masih Relevankah Zaman Sekarang?

Sebagai penulis dan blogger, aku memiliki resolusi untuk belajar hal baru untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitas. Jadilah, aku mengikuti beberapa kelas menarik yang kurasa menunjang pekerjaanku sebagai penulis penuh waktu.

Diantaranya mengikuti kelas EYD yang diselenggarakan Badan Bahasa secara daring. Selama tiga hari kami mengikuti berbagai sesi via Zoom. Juga pendampingan di grup WA selama sebulan. Kelas ini membuatku bisa menulis lebih baik dan minim kesalahan ketik. Naskah yang rapi tentu saja akan membuat penerbit dan klien senang ya.

Mencoba Menulis di Platform Online

Sejak pandemi, novel online di platform banyak dilirik pembaca.  Kepopuleran novel-novel yang ditulis di platform online makin menjulang. Begitu juga penjualan e-book di Google Play Store. Salah satu penyebabnya mungkin kita tak bisa sebebas dahulu untuk pergi ke toko buku membeli novel-novel cetak. Setelah pandemi, kebiasaan membaca novel di platform pun berlanjut karena sudah terbiasa dan nyaman.

Ya, perubahan zaman itu pasti. Teknologi terus berkembang. Termasuk di dunia penerbitan. Selera dan pilihan pembaca pun terus berubah. Sebagai penulis kita harus bisa mampu beradaptasi. Jika sebelumnya, membaca novel online di platform masih dipandang sebelah mata oleh pembaca konvensional.

“Enak baca buku cetak, mata tidak sakit.”

“Novel online nggak bisa dibaui kayak buku cetak.”

“Baca novel online repot kudu beli koin.”

Kini, anak muda banyak juga yang memilih membaca novel online dengan alasan kepraktisan dan pilihan lebih banyak. 

Lagi-lagi, kita harus terus beradaptasi. Ini saatnya para penulis menjajal platform  novel online untuk menerbitkan karya. Bahkan penerbit yang biasanya menerbitkan buku cetak pun beradaptasi. Penerbit Gramedia pun punya lini untuk menyalurkan novel online kita namanya GWP atau Gramedia Writing Project.

Ya, memang masih banyak keengganan di kalangan penulis novel. Merasa prosesnya ribet dan sulit, cara penulisannya berbeda, dibandingkan menulis novel biasanya. Ala bisa karena biasa. Mungkin karena kita belum terbiasa menulis di platform ini?

Setiap platform memiliki aturan dan sistem penerbitan sendiri. Sebelum kita terjun, sebaiknya baca aturan penerbitan buku di platform yang kita tuju. Kita bisa membandingkan beberapa platform yang ada dan memilih mana yang kita rasa cocok untuk kita. Kita juga bisa aktif bertanya pada teman-teman penulis yang sudah lebih dulu terjun di bidang novel online ini.

Sebelum masuk platform, kita harus mengetahui dengan baik. Apakah naskah ini kita bagikan gratis atau berbayar? Bagaimana caranya agar naskah kita bisa berbayar? Alias premium? Apakah susah penarikan dananya dan minimal berapa agar dana bisa ditarik? 

Yang terpenting, apakah naskah kita terikat kontrak ketat di platform? Misalnya novel harus tetap ada selama dua tahun di platform, atau bisa ditarik dan diterbitkan penerbit lain kapan saja?

Jangan sampai kejadian, kita menyesal menerbitkan naskah buku di sana karena tak ada pembacanya tapi tak bisa ditarik karena aturannya dikontrak selama tiga tahun, misalnya. Terus, kita misuh-misuh di media sosial. Tentu saja ini bisa merugikan kita sebagai penulis ya.

Sebenarnya, apa yang membedakan novel konvensional dan novel online?

Seorang penulis novel produktif, Achi TM misalnya mengaku membutuhkan waktu beradaptasi sekitar 6 bulan mengenali karakter pembaca novel online. Menurut Achi TM, perbedaan mendasar antara novel online dan novel cetak adalah pada gaya tulisan dan proses mencari pembaca buku kita. Karakteristik pembaca novel di platform berbeda dengan pembaca buku konvensional.

Jalan Sunyi Penulis, Masih Relevankah Zaman Sekarang?

Menurut penulis novel Insya Allah Sah ini pun belajar bagaimana menulis di platform online diantaranya adalah tidak banyak penggambaran suasana dan setting, setiap bab harus ada konflik yang mengikat pembaca, dan update rutin novel kita minimal seminggu dua kali. Dan yang paling penting, harus rajin promosi. Itulah kunci untuk eksis jadi penulis platform, Kawan. 

Karakteristik pembaca di internet itu biasanya menyukai tulisan yang ringkas dan padat. Tidak bertele-tele. Jika dirasa kepanjangan, maka akan ditinggal. Karakteristik serupa juga sama pada pembaca novel online. Mereka menyukai bab-bab yang ditulis dengan ringkas dan padat. Satu bab biasanya hanya sekitar 800-1200 kata. 

Pembaca pun tidak menyukai bab yang berlama-lama pada satu adegan. Nah, penulis novel konvensional biasanya harus beradaptasi pada hal ini. Bagaimana menulis dengan deskripsi yang cukup dan menarik?

Menurut Achi pula, keunggulan platform novel online ini juga memudahkan penulis novel untuk mengetes minat pembaca pada ide kita. Tes pasar ya istilahnya. Hal ini berbeda jika kita menerbitkan novel konvensional. Interaksi pembaca juga lebih langsung ya? Pembaca bisa langsung memuji dan mengkritik, berpendapat apapun di bab yang mereka sedang baca.

Jadi, kemungkinan penulis seperti Andrea Hirata dan Sophie Kinsella yang senang bermain kata harus beradaptasi lebih lama untuk bisa menulis di platform ya karena novel online biasanya deskripsi singkat, banyak dialog dan konfliknya.

Tak hanya itu, sebagai penulis novel online kita harus rajin dan rutin mengunggah karya. Seperti saran Achi TM, seminggu dua kali minimal unggah bab baru. Jadi, pembaca tetap terikat dengan cerita kita. Jangan seperti aku nih yang mengunggah bab baru seingatnya. Pantas saja pembaca bukuku sedikit, huhuhu.

Bagaimana soal promosinya? Ya, penulis novel online memang harus lebih ekstra menggaet pembaca. Penulis novel laris seperti Achi TM pun harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan pembaca novel onlinenya. Kita harus rajin membagikan link buku kita ke berbagai media sosial, rajin mempromosikan karya kita. Memang tak ada yang instan sih di dunia ini termasuk menulis di platform novel online.

Ya, ternyata para penulis kini bisa menyusuri jalan berbunga untuk sampai ke tujuan. Jalan sunyi bukannya kita tinggalkan, ya. Tapi kita ramaikan dengan hal-hal baru yang akan membiarkan kita beradaptasi dengan segala perubahan yang ada di dunia tulis-menulis ini.

Posting Komentar

0 Komentar