Any change, even a change for the better, is always accompanied by discomfort.
-Arnold Bennett.
Takdir
seorang penulis konon adalah menempuh jalan sunyi dalam menuliskan
karya-karyanya. Seperti sebuah memoar karya Muhidin M. Dahlan.
Ya,
penulis memang sebagian besar proses kerjanya berada di tengah kesunyian.
Bahkan
saat menawarkan karyanya pun, ia hanya mengontak penerbit lewat surel, paling
banter percakapan telepon atau WA. Tak banyak interaksi dengan manusia lain
dalam proses penciptaan karyanya?
Sebuah
obrolan menggelitik hadir ketika aku bertemu seorang teman sesama penulis di
sebuah kafe. Ia bercerita kalau sekarang ia jadi content creator selain
penulis buku. Tiap hari, ia membuat postingan video pendek tentang kegiatannya
sebagai penulis dan seluk-beluknya di Instagram dan TikTok.
Aku
mengangguk-angguk saja. Hm, rasanya aku tak punya energi untuk membuat
postingan ala konten creator Gen Z yang ciamik. Memotret, mendesain konten di
canva, lalu mengeditnya di Capcut, belum lagi membuat caption dan tagar untuk
satu postingan rasanya melelahkan, ya.
“Namanya
penulis harus up to date dengan perkembangan zaman. Penulis zaman
sekarang tuh harus, wajib, kudu punya medsos!” begitu kata temanku yang juga
seorang penulis.
“Lho,
bukannya penulis itu berkarya di jalan sunyi? Untuk apa medsos?”
“Jalan
sunyinya sudah ditutup! Sekarang, penulis harus berinteraksi dengan para
pembaca untuk meniti jalan berbunga!”
“Jalan
berbunga apaan? Kamu abis sarapan apa tadi, kok ngelindur?”
Kisah
penulis yang berkarya di jalan sunyi itu alias introver ini sempat kujadikan
ide cerita di novel anak yang kutulis belasan tahun lalu. Judulnya Melacak
Penulis Misterius. Ceritanya tentang Nailah si kutu buku yang mengidolakan
Kirey penulis novel kesayangannya.
Sayangnya,
identitas Kirey ini tidak diketahui.ia tak punya kontak yang bisa dihubungi,
fotonya tak ada di media sosial dan tentu saja ia tak punya medsos. Kalau di
Indonesia, mungkin penulisnya Ilana Tan yang misterius ya? Hehe.
Nailah
ingin mengungkapkan kecintaannya pada novel karya Kirey tapi tak tahu bagaimana
cara untuk bertemu dengannya. Jadilah, Nailah merencanakan akan mengejar Kirey
untuk berkenalan. Ternyata, Kirey penulis introvert ini karena ada alasannya
yaitu ia tidak siap pembaca mengetahui kalau ia adalah seorang tuna netra.
Nah,
bagaimana dengan penulis zaman sekarang, apakah masih kekeuh menempuh jalan
sunyi?
Suatu
hari, aku bertemu Pimpinan Redaksi sebuah penerbit ternama di Yogya. Kami mengobrol
ngalor-ngidul tentang dunia penerbitan. Ia memaparkan bagaimana efek dunia
media sosial sangat mengangkat dunia penerbitan saat ini.
Para
penulis muda yang bergerak di media sosial, berbagai pemikiran dan perasaannya
ke follower berhasil meraih hati banyak pembaca mereka dan walhasil, penulis
muda zaman sekarang followernya bejibun, memiliki base penggemar dan berdampak
pada penjualan buku mereka yang luar biasa. Bahkan saat PO saja pesanan buku
mereka meledak. Hal ini membawa angin segar pada dunia penerbitan Indonesia.
Apa
yang harus dilakukan para penulis zaman sekarang? apakah harus mengabaikan
jalan sunyi dan berjalan penuh gaya menyusuri jalan berbunga?
Menjalin
Kata dengan Pembaca di Medsos
Saat
ini, banyak penulis muda Indonesia mendominasi dunia penerbitan Indonesia
selain penulis senior seperti Leila S. Chudori, Tere Liye dan Dee Lestari.
Sebut
saja JS. Khairen dengan deretan buku larisnya di Gramedia Pustaka Utama.
Penulis muda keturunan Minang ini punya 469 ribu follower di Instagram. Ada
pula penulis Syahid Muhammad yang
menulis beberapa buku bertema kesehatan mental ini juga aktif di
Instagram dengan 70 ribu follower. Penulis beberapa novel laris seperti Resign
dan Ganjil-Genap, Almira Bastari juga rajin menyapa fansnya di IG dengan
pengikut 19.200.
Mereka
tak hanya membagikan karya terbaru mereka di media sosial, tapi juga mengunggah
keseharian mereka dengan foto dan video yang enak dipandang mata. Mereka juga
giat berbagi pemikiran dan perasaan di media sosial sehingga pembaca buku
mereka mudah berinteraksi dan sharing dengan mereka.sehingga terjalinlah
keterikatan emosional dengan para pembaca di medsos.
Ya,
memang tak bisa dimungkiri melemparkan karya ke khalayak umum berarti penulis
siap menerima pujian, saran, kritikan bahkan cercaan terhadap karyanya.
Pernah
nih, aku mendapatkan kritikan di
Facebook saat buku komediku terbit. Isinya memang cukup membuat jantungku
deg-degan. Kata seorang pembaca, karyaku
tidak ada isinya. Tidak berkualitas dan menyebarkan hal-hal buruk. Jeder! Apakah
setelah itu aku akan balik menyerang si komentator? Atau aku jadikan
komentarnya sebagai pemacu semangat untuk berkarya lebih baik lagi?
Berpromosi
via Medsos
Berinteraksi
dengan pembaca, berbagi pemikiran dan perasaan dengan para pengikutmu di media
sosial otomatis membuatmu lebih mudah berpromosi memperkenalkan karya barumu.
Jika kamu sedang proses menulis naskah baru, kamu bisa ceritakan seluk-beluk
naskahmu semacam teaser behind the laptop prosesmu berkarya.
Dengan
begitu, para pengikut akun media sosialmu yang biasanya juga pembaca karyamu
akan menunggu kehadiran karya barumu dengan tak sabar. Sekali mendayung, dua
tiga pulau terlampaui, kan? Tak heran, kebanyakan penulis muda ini seperti kata
Mas Tepe setiap meluncurkan karya baru dan buka PO pasti jumlah buku yang
dipesan membludak dan bikin penulisnya pegal-pegal karena harus menandatangani
ratusan hingga ribuan buku. Keren, ya!
Menggunakan
Chat GPT untuk Menambah Ide
Ketika
ramai-ramai menggunakan chat GPT, aku seperti biasa mlipir. Aku kurang suka
mengikuti tren termasuk perkembangan teknologi di bidang tulis-menulis.
Menurutku, chat GPT seperti menyontek dan bukan hasil karya kita sendiri.
Namun,
pikiranku lebih terbuka ketika bertemu seorang sahabat yang blogger dan juga
seorang copywriter. Ia cerita, kalau chat GPT sangat membantunya menemukan ide
menulis artikel. Terkadang menyediakan outline atau kerangka karangan. Chat GPT
ini membantu sekali apalagi di saat kita terkena writer block. Aku langsung
berpikir, benarkah?
Setelah
kucoba membuka webnya dan mencoba sendiri Chat GPT dengan memasukkan pertanyaan
di kolomnya. Aku terkejut. Oh, ternyata benar juga kata sahabatku ini. Chat GPT
memang bisa jadi musuh penulis. Konon, ia merebut pekerjaan para penulis.
Tapi,
jika dimanfaatkan dengan benar ia bisa membantu kita menyelesaikan pekerjaan
menulis lebih cepat. Kita bisa mendapatkan ide baru dari jawaban Chat GPT.
Usulnya bisa jadi pemantik ide untuk kita mulai menulis dan pada akhirnya akan
berkembang sendiri sesuai proses berkarya kita.
Mempelajari
Hal Baru
Penulis
yang sudah lama berkecimpung di dunia tulis-menulis ada yang terjangkit sindrom
senioritas. Kita sudah lebih dulu nyemplung di dunia ini makanya kadang kita
jumawa, memandang sebelah mata para yunior. Padahal, dalam dunia penulisan yang
penting adalah ide. Teknik penulisan akan berkembang seiring waktu. Jadi,
jangan merasa minder.
Seorang
penulis senior ternyata harus selalu rajin mengisi dirinya dengan mempelajari
hal baru. Hal ini dilakukan agar ide-ide tetap segar dan tak ketinggalan masa.
Diantaranya
mengikuti kelas EYD yang diselenggarakan Badan Bahasa secara daring. Selama
tiga hari kami mengikuti berbagai sesi via Zoom. Juga pendampingan di grup WA
selama sebulan. Kelas ini membuatku bisa menulis lebih baik dan minim kesalahan
ketik. Naskah yang rapi tentu saja akan membuat penerbit dan klien senang ya.
Mencoba
Menulis di Platform Online
Sejak
pandemi, novel online di platform banyak dilirik pembaca. Kepopuleran novel-novel
yang ditulis di platform online makin menjulang. Begitu juga
penjualan e-book di Google Play Store. Salah satu penyebabnya
mungkin kita tak bisa sebebas dahulu untuk pergi ke toko buku membeli
novel-novel cetak. Setelah pandemi, kebiasaan membaca novel di platform
pun berlanjut karena sudah terbiasa dan nyaman.
Ya, perubahan zaman itu pasti. Teknologi terus berkembang.
Termasuk di dunia penerbitan. Selera dan pilihan pembaca pun terus berubah.
Sebagai penulis kita harus bisa mampu beradaptasi. Jika sebelumnya, membaca
novel online di platform masih dipandang sebelah mata oleh
pembaca konvensional.
“Enak baca buku cetak, mata tidak sakit.”
“Novel online nggak bisa dibaui kayak buku
cetak.”
“Baca novel online repot kudu beli koin.”
Kini, anak muda banyak juga yang memilih membaca novel online dengan
alasan kepraktisan dan pilihan lebih banyak.
Lagi-lagi, kita harus terus beradaptasi. Ini saatnya para penulis menjajal platform
novel online untuk menerbitkan karya. Bahkan penerbit yang
biasanya menerbitkan buku cetak pun beradaptasi. Penerbit Gramedia pun punya
lini untuk menyalurkan novel online kita namanya GWP atau Gramedia Writing
Project.
Ya, memang masih banyak keengganan di kalangan penulis novel.
Merasa prosesnya ribet dan sulit, cara penulisannya berbeda, dibandingkan
menulis novel biasanya. Ala bisa karena biasa. Mungkin karena kita belum
terbiasa menulis di platform ini?
Setiap platform memiliki
aturan dan sistem penerbitan sendiri. Sebelum kita terjun, sebaiknya baca
aturan penerbitan buku di platform yang kita tuju. Kita bisa membandingkan
beberapa platform yang ada dan memilih mana yang kita rasa cocok untuk kita.
Kita juga bisa aktif bertanya pada teman-teman penulis yang sudah lebih dulu
terjun di bidang novel online ini.
Sebelum masuk platform, kita harus mengetahui dengan baik. Apakah naskah ini kita bagikan gratis atau berbayar? Bagaimana caranya agar naskah kita bisa berbayar? Alias premium? Apakah susah penarikan dananya dan minimal berapa agar dana bisa ditarik?
Yang terpenting, apakah naskah kita terikat kontrak ketat di platform? Misalnya novel harus tetap ada selama dua tahun di platform, atau bisa ditarik dan diterbitkan penerbit lain kapan saja?
Jangan sampai kejadian, kita menyesal menerbitkan naskah buku di sana karena tak ada pembacanya tapi tak bisa ditarik karena aturannya dikontrak selama tiga tahun, misalnya. Terus, kita misuh-misuh di media sosial. Tentu saja ini bisa merugikan kita sebagai penulis ya.
Sebenarnya, apa yang membedakan novel konvensional dan novel online?
Seorang penulis novel produktif, Achi TM misalnya mengaku membutuhkan waktu beradaptasi sekitar 6 bulan mengenali karakter pembaca novel online. Menurut Achi TM, perbedaan mendasar antara novel online dan novel cetak adalah pada gaya tulisan dan proses mencari pembaca buku kita. Karakteristik pembaca novel di platform berbeda dengan pembaca buku konvensional.
Menurut penulis novel Insya Allah Sah ini pun belajar bagaimana menulis di platform online diantaranya adalah tidak banyak penggambaran suasana dan setting, setiap bab harus ada konflik yang mengikat pembaca, dan update rutin novel kita minimal seminggu dua kali. Dan yang paling penting, harus rajin promosi. Itulah kunci untuk eksis jadi penulis platform, Kawan.
Karakteristik pembaca di internet itu biasanya menyukai tulisan yang ringkas dan padat. Tidak bertele-tele. Jika dirasa kepanjangan, maka akan ditinggal. Karakteristik serupa juga sama pada pembaca novel online. Mereka menyukai bab-bab yang ditulis dengan ringkas dan padat. Satu bab biasanya hanya sekitar 800-1200 kata.
Pembaca pun tidak menyukai bab yang berlama-lama pada satu adegan. Nah, penulis novel konvensional biasanya harus beradaptasi pada hal ini. Bagaimana menulis dengan deskripsi yang cukup dan menarik?
Jadi, kemungkinan penulis seperti Andrea Hirata dan Sophie
Kinsella yang senang bermain kata harus beradaptasi lebih lama untuk bisa
menulis di platform ya karena novel online biasanya deskripsi
singkat, banyak dialog dan konfliknya.
Tak hanya itu, sebagai penulis novel online kita
harus rajin dan rutin mengunggah karya. Seperti saran Achi TM, seminggu dua
kali minimal unggah bab baru. Jadi, pembaca tetap terikat dengan cerita kita.
Jangan seperti aku nih yang mengunggah bab baru seingatnya. Pantas saja pembaca
bukuku sedikit, huhuhu.
Bagaimana soal promosinya? Ya, penulis novel online memang harus lebih ekstra menggaet pembaca. Penulis novel laris seperti Achi TM pun harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan pembaca novel onlinenya. Kita harus rajin membagikan link buku kita ke berbagai media sosial, rajin mempromosikan karya kita. Memang tak ada yang instan sih di dunia ini termasuk menulis di platform novel online.
Ya,
ternyata para penulis kini bisa menyusuri jalan berbunga untuk sampai ke tujuan.
Jalan sunyi bukannya kita tinggalkan, ya. Tapi kita ramaikan dengan hal-hal
baru yang akan membiarkan kita beradaptasi dengan segala perubahan yang ada di
dunia tulis-menulis ini.
15 Komentar
Intinya beradaptasi ya dengan kemajuan teknologi dan trend pasar. Jadi kita tahu apa yang diinginkan pembaca jaman sekarang. Mungkin ada saatnya kita bersahabat dengan kesunyian, di lain waktu kita berinteraksi dengan calon pembaca setia cerita kita. Ngobrol dengan chat gpt ok juga kok buat mencari ide ^_^
BalasHapusIyaa Mbak. Kalo nulis di platform emang kudu rajin promo di medsos biar banyak yg baca / beli koin emas di sana. Jadi enggak bisa kayak dulu (sebelum tahun 2000) yg nulis lalu kirim ke penerbit dan terima beres dan nunggu royalti.
BalasHapusBuku mbk dew yang kos dodol bagus kok...lucuuu aku sukaa...tak kirain bakal ada sequelnya macam stupid bos itu hehehe...
BalasHapusKalo aku sementara masih mencintai buku cetak mbaaa masih menikmati membaca buku daripada online :)
Terima kasih untuk tulisan yang epic ini, banyak belajar dari pemikiranmu.
BalasHapusKekuatan terbesar dalam hidup ketika mampu beradaptasi.
Begitu kira-kira sebuah kalimat, aku setuju dengan itu, soal chat GPT, bagaimanapun itu hanya sebuah alat dan kendaraan untuk lebih memaksimalkan untuk mencapai tujuan, suka ga suka memang perlu mengenalnya, aku sepertinya sama denganmu, kurang suka tren tapi ya bagaimana lagi ya, jika tidak ya kita ketinggalan.
Soal jalan sunyi, mungkin kalau aku tetap membutuhkan karena dalam hening ketajaman berpikir akan lebih terasah, biarkan saja jalan itu penuh bunga tapi kesunyian tetap selalu diupayakan dengan mendiamkan bunga-bunga yang berbisik.
Iya, aku juga merasakan sih, kalau baca secara online gitu pasti gak bakal kuat berlama-lama, mata sakit... itu yang menyebabkan ogah baca satu bab yang terlalu panjang... Beda halnya kalau baca yang versi buku cetak...
BalasHapusAku tetep sesekali baca novel online. Malah banyak temen2 ku yg penulis suka kasih link ebook mereka utk aku baca dan review mba. Kebanyakan tp penulis Malaysia 😄
BalasHapusMereka tahu aku suka baca novel2 Malaysia.
Awalnya memang ga biasa, dan msh LBH suka buku fisik. Cuma lama2 enak juga sih baca ebook. Ringkes, bisa utk ngusir jenuh kalo nunggu orang, atau saat di pesawat.
JD nya skr tiap bepergian aku selalu download beberapa ebook utk dibaca.
Penulis memang harus adaptasi sih yaa. Namanya juga udh zaman digital. Tapi sampe skr, jujurnya aku msh LBH suka tulisan yg detail kayak tulisan Andrea Hirata, drpd yg terlalu cepat alurnya
Zaman semakin berkembang, saat ini blogger juga dituntut untuk bisa aktid di sosmed. Jadi tak hanya menulis, blogger juga harus bisa editing video, memotret dll.
BalasHapusMau tidak mau sebagai blogger harus mengikuti inovasi teknologi agar tidak stag dan bisa lebih berkembang.
Betul sekali mba Dew, rupanya profesi atau hobi apapun jika diniatkan secara serius dan fokus sangat membutuhkan penyesuaian dengan zaman. Salah satunya para penulis.
BalasHapusKini di era digitalisasi, para penulis mesti rajin juga bangun branding via socmed. Tentunya untuk sarana promosi secara soft selling, mendongkrak penjualan buku ataupun novel online via platform tertentu.
Aku pernah nyoba nulis di GWP, sayangnya aku merasa kurang mumpuni buat nulis cerpen ataupun novel jadi belum ku lanjutkan.
Makasih sharing ilmunya, bermanfaat sekali dan bismillah aku mau coba nulis lagi di GWP kedepannya.
Ditengah gempuran platform medsos dan berbagai kontennya, memang perlu juga sih ya penulis berinteraksi di medsos, biar makin kenal followersnya dengan dia, sehingga tatkala ada karya baru, bakalan selalu ditunggu
BalasHapusAh iya, meski banyak yang beralih menjadi video kreator, aku tetap setia menulis. Memang harus banyak skill baru yang dipelajari biar mendukung diri sebagai penulis ya mbak
BalasHapusdulu aku beli buku selalu versi cetak, biar bisa dipajang dan ditenteng kemana-mana kalau lagi pengen baca. Rasanya wow aja gitu kalau liat koleksi buku makin banyak
BalasHapusseiring waktu muncullah yang namanya buku online, kadang aku masih baca cuman nggak bertahan lama, karena merasa melihat layar hape atau komputer bikin capek juga.
Tapi dengan keberadaan platform novel online, bisa bikin kita lebih mudah kalau lagi pengen baca.
aku waktu itu juga masih baca majalan online, dan memang seru, selama editingnya bagus
Lebih ke personal brandingnya musti dapet sih ya. Soalnya yaa minat baca di Indonesia kan emang sebegitu rendahnya, jadi para publisher pun biasanya punya standar tersendiri untuk menentukan buku apa yang layak untuk terbit.
BalasHapusDaaan biasanya sih, salah satu parameternya adalah popularitas si penulis itu sendiri.
Soalnya kan ya.. kalo ybs udah populer, biarkata tulisannya agak amburadul juga.. tetep ada pasarnya yang baca. huehuhu
Wah aku setuju sekali, kita harus mengikuti perkembangan zaman sehingga selalu update dengan informasi terbaru. Aku yakin penulis akan tetap eksis apabila bisa selalu update biar tulisannya tetap disukai pembaca.
BalasHapusTulisan Kakak mengingatkan saya apda novel-novel online yang sering saya baca, betul banget sih, saya pribadi juga kurang suka kalau baca perbabanya terlalu panjang bikin bosen dan ga mau baca lagi, terus kalau ceritanya banyak konflik itu lebih menarik karena kita jadi tahu banyak soal kehidupan oh ternyata ada ya seperti ini, dibandingkan dengan yang ceritanya lurus saja
BalasHapusNah iya nih era chatgpt ya semoga jalan kepenulisan masih berpeluang banyak dan tidak sunyi sehingga bisa ikut berkintribusi di dunia literasi
BalasHapus