Halo Kawan,
Beberapa waktu lalu, aku mengikuti acara bincang-bincang rutin Forum Penulis Bacaan Anak yang sering disebut Paberland. Acara kali ini mengangkat topik mengenal ISBN di dunia penerbitan.
Pembicara kali ini adalah Pak Suharyanto yang menjabat sebagai Kepala Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan di Perpustakaan Nasional. Badan yang khusus menangani penerbitan ISBN. Selain menjabat di Perpusnas, Pak Suharyanto yang akrab disapa Pak Har ini juga adalah penulis aktif.
Menurut Pak Har, ada tiga nomor standar di dunia penerbitan internasional. Pertama, ada ISSN yaitu International Standar Serial Number, nomor yang dipakai untuk mendaftarkan jurnal dan karya ilmiah. Nomor ini diterbitkan di BRIN.
Kalian sering mendengar tentang ISBN terutama saat membahas buku yang kalian baca. Nah, kali ini, aku akan memperkenalkan tentang ISBN pada kalian. ISBN adalah singkatan dari International Standard Book Number. Kalau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai angka standar buku internasional.
ISBN adalah deretan angka yang terdapat di bagian belakang buku dan biasanya disertai barcode adalah sistem identifikasi unik untuk setiap buku yang diterbitkan di seluruh dunia. Nomor ini diberikan untuk setiap buku yang akan diterbitkan oleh penerbit. Pengajuan ISBN bisa dilakukan oleh penerbit secara daring melalui laman atau web layanan ISBN Perpusnas.
ISBN berguna sebagai identitas buku karena satu
ISBN berlaku untuk satu judul buku saja. Selain itu, ISBN juga berfungsi untuk
memperlancar distribusi buku karena kodenya yang unik meminimalisir salah pesan
buku. ISBN juga berguna untuk promosi buku. Jadi, ISBN banyak gunanya kan?
Tapi, tidak semuanya jenis terbitan
mendapatkan ISBN diantaranya buku tercetak, buku peta, terbitan brailler, film,
video yang bersifat edukatif dan lainnya.
Nomor ISBN terdiri dari 10 digit yang terbagi menjadi 6 bagian:
- Pengenal kelompok
(group identifier)
- Pengenal penerbit
(publisher prefix)
- Pengenal judul
(Title identifier)
- Angka pemeriksaan
(check digit)
- LAN Barcode untuk
produk terbitan
- Angka pemeriksaan
setelah penggabungan dengan LAN Barcode
Dalam proses penerbitan, setelah penulis menyelesaikan naskah bukunya, maka ia akan menyerahkan naskahnya ke penerbit untuk proses selanjutnya yaitu edit dan layout. Ketika naskah siap terbit, maka tugas penerbit selanjutnya adalah memesan ISBN untuk naskah buku tersebut ke Perpusnas. Jadi, yang berhak memesan ISBN adalah penerbit. Tidak bisa perorangan. Untuk buku indie, penulis bisa memilih penerbit untuk ia menerbitkan bukunya.
Di acara Ngopi ini, Pak Har memperkenalkan Kinos yang merupakan singkatan dari Katalog ISBN Online Searching. Semua buku yang memiliki ISBN baik buku cetak ataupun digital bisa dicek datanya di Kinos.
Kinos bisa dimanfaatkan oleh penulis dan penerbit, toko buku hingga masyarakat umum. Penerbit dan distributor buku bisa menggunakan Kinos untuk hal komersial dan hak cipta. Dengan adanya Kinos, kita bisa memantau karya kita. Juga menghindari adanya kecurangan.
Tahu kan, beberapa waktu lalu dunia penerbitan dihebohkan adanya buku karya penulis buku anak produktif Watiek Ideo yang karyanya ternyata diterbitkan kembali secara digital dengan menggunakan nama penulis lain dan memiliki ISBN baru. Dengan adanya Kinos, masalah plagiat seperti yang dialami Watiek Ideo dan kasus penerbit nakal dengan terbitnya beberapa buku yang berbeda dengan ISBN yang sama akan bisa dihindari.
Para penulis, peneliti dan pelajar serta mahasiswa juga bisa menggunakan Kinos untuk penelusuran buku dan sebagai acuan sumber pengetahuan. Kinos juga bisa digunakan sebagai alat ukur perkembangan pengetahuan di indonesia berdasarkan jumlah penerbitan.
Jika menilik jumlah ISBN yang dikeluarkan Perpusnas tahun 2021 ternyata menunjukkan perkembangan menggembirakan. Indonesia berada di urutan keenam dari 52 negara dalam menerbitkan ISBN. Hal ini menunjukkan bahwa negara kita dalam performa baik di dunia dalam menciptakan pengetahuan baru dalam bentuk karya cetak dan digital. Anehnya, walaupun Indonesia memiliki peringkat bagus dalam jumlah penerbitan, tapi tingkat keterbacaan masyarakat Indonesia masih terbatas.
Jadi, ada masalah kesenjangan dalam distribusi buku. Ketersediaan buku bacaan harus merata. Itulah mengapa ada persyaratan buku harus bisa diakses secara luas agar tingkat keterbacaan buku lebih tinggi dalam peraturan Perpusnas yang terbaru. Jangan lagi ada penerbit yang memesan ISBN untuk buku yang dicetak 10 buah dan tidak untuk disebarluaskan. Hanya untuk koleksi di rak buku sendiri.
Pertanyaan lain, apakah karya yang terbit ini semuanya memenuhi standar kualitas? Tak hanya sekadar menang dalam jumlah atau kuantitas buku?
Untuk itulah, Pak Har memaparkan aturan terbaru terkait penerbitan ISBN berdasarkan Peraturan Perpustakan Nasional No 5 tahun 2022. Menurut aturan terbaru ini ada 3 hal yang perlu diketahui penulis dan penerbit terkait pelayanan ISBN:
1. 1. Yang bisa mendapat ISBN adalah karya yang diterbitkan di negara
Republik Indonesia.
2. 2. Setiap karya yang dihasilkan penulis di penerbit harus bisa
disebarluaskan ke masyarakat.
3. 3. Karya tersebut mudah diakses.
Tiga syarat ini diadakan untuk meminimalisir karya-karya yang dibuat dan dicetak hanya untuk pribadi dan kalangan terbatas. Ya, untuk apa ISBN jika kita hanya menulis buku dan menerbitkannya untuk koleksi kita pribadi? Tidak untuk disebarluaskan kepada khalayak dan pembaca mendapatkan manfaat dan ilmu dari karya kita?
Perpusnas akan aktif mengecek distribusi buku itu. Apakah karya tersebut sudah disebarluaskan atau hanya koleksi pribadi. Termasuk mengecek apah buku ini akan dijual di toko buku daring atau offline. Di mana web penerbit yang bisa dipantau? Untuk itu, penerbit harus memiliki portal web sebagai rumah penerbit. Tak hanya akun medsos saja. Beberapa hal ini akan dipantau pula oleh badan ISBN internasional.
Akan ada sanksi untuk penerbit dan penulis jika melanggar. Selain itu, penulis harus membuat surat pernyataan keaslian karya saat mengajukan ISBN. Jangan sampai terjadi klaim antar penulis seperti kasus Watiek Ideo. Menurut Pak Har, kasus-kasus seperti ini akan menjadi tanggung jawab penerbit dan bukan Perpusnas.
Jika ada buku yang terbit indie, lalu ditawarkan ke penerbit mayor dan diterima. Maka harus ada penyataan dari penerbit indie kalau naskah ini dialihkan ke penerbit lain untuk dibuatkan ISBN. Harus ada surat pernyataan pengalihan penerbitan dari penerbit A ke B dan ada penyataan penulis tentang keaslian karya. Menurut Pak Har, setiap ISBN yang dikeluarkan tidak pernah dicabut tapi diberikan catatan oleh perpusnas.
Banyak yang menganggap pengurusan ISBN saat ini lebih ribet dan lama, tapi menurut Pak Har hal ini wajar. Karena Perpusnas sedang menata agar buku-buku yang terbit lebih berkualitas. Jangan sampai ada tema sama yang ada dipakai berulangkali.
Perpusnas tidak mengecek buku secara menyeluruh yang diajukan untuk ISBN karena akan menghambat penyebaran literasi dan ISBN semakin lama keluar. Karena itu, dibuatlah aturan baru di mana penulis dan penerbit harus menjamin keaslian naskah tersebut. Kembali lagi pada kejujuran penulis untuk keaslian karyanya.
Setiap tahun, Perpusnas membeli ISBN di badan ISBN internasional dengan biaya pemerintah RI dan ISBN internasional memeriksa apakah benar ISBN yang dikeluarkan ada wujud bukunya. Banyak penerbit nakal tidak menggunakan ISBN yang diajukan, ada juga yang tidak menyerahkan dua eksemplar bukti terbit pada Perpusnas.
Ada yang bertanya bagaimana status buku-buku karya siswa yang diterbitkan oleh pihak sekolah secara indie apakah perlu ISBN? Menurut Pak Har, kalau bukunya hanya untuk kalangan terbatas sebaiknya tidak usah menggunakan ISBN. Kecuali bukunya memenuhi syarat yang tercantum dalam peraturan baru Perpusnas.
Jika naskah buku kita hanya untuk kalangan terbatas, tak usah menggunakan ISBN dan tanpa ISBN bukan berarti buku kita tidak keren dan bermanfaat. Bahkan buku Pak Har tentang persebaran penerbit di Indonesia saja tidak menggunakan ISBN karena hanya dicetak untuk kalangan terbatas.
Sumber Foto: Pixabay.com
22 Komentar
Oh berarti misal aku bikin modul untuk mahasiswaku sendiri GAUSAH ngurus ISBN ya mba dew?
BalasHapusWah aku baru tahu kak bedanya ISSN, ISMN dan ISBN. kak aku denger sekarang makin susah dapetin ISBN gitu. Bener ga sih?
BalasHapusNoted mbak, jadi jika naskah buku kita hanya untuk kalangan terbatas, tak usah menggunakan ISBN ya, dan itu tidak jaminan buku jelek atau kece
BalasHapustanpa ISBN bukan berarti buku kita tidak keren dan bermanfaat.
jadi inget dulu pas ayah molly bikin buku biografi. molly suka ngecek2 bukunya ada nomor isbn. ternyata ini toh fungsinya.
BalasHapusKemaren dapat info kalo terbit indie ngga usah ISBN, gitu kah?
BalasHapusYa kalo buat kalangan pribadi emang wajar sih ngga perlu pake ISBN ya mba.
baru tau kalo nomor ISBN ada 10 digit, aku taunya nomor ISDN ini waktu kuliah dulu..karena sering banget nongkrong di perpus dan pinjem buku
BalasHapusAah iya ya .. baru benar2 paham bahwa ISBN ataupun Kinos bisa membantu kita memantau karya kita dan menghindari adanya kecurangan.Gemes juga ya kalau karya kita ada yang mengakui.
BalasHapusMakasih sharingnya mbak, jadi makin paham tentang ISBN ini.
BalasHapusIya ya, kalau buku diterbitkan untuk kalangan terbatas ngapain harus ngurus ISBN nya ya.
Baruu tahu tentang ISBN ternyata prosesnya harus sabar yaa maak...makasih sharingnyaa semoga bisa menghasilkan buku sendiri amiinnn
BalasHapusMakasih sharingnya Kak, Jadi tahu banyak tentang ISBN neh.
BalasHapusKalau untuk kalangan sendiri, kayak gitu bisa diterbitin tanpa jasa penerbitan berati ya Mbak? Misal ke peretakan mandiri gitu. Kalau dijual ke teman-temannya saja gitu hukumnya gimana ya?
Baru tahu nih ada peraturan sanksi bagi penulis dan penerbit yang mendaftarkan ISBN tanpa menyebarluaskan cetakan bukunya. Ya, benar juga, sih. Untuk apa mendaftarkan ISBN kalau hanya untuk koleksi pribadi atau kalangan terbatas, ya?
BalasHapusPenulis buku harus tahu tentang ISBN ini ya mbak
BalasHapusDan baiknya kalau punya buku ya harus punya nomor ISBN ini ya mbak
benar juga ya, mbak. kalau bikin buku buat pribadi ngapain bikin isbn, ya? kesannya cuma buat gaya-gayaan jadinya
BalasHapusJaman sekolah, pernah belajar tentang penerbitan ISBN ini. Pusing saya menghafal kode dan istilah nya itu. Sekarang jumpa artikel ini, ternyata saya masih dibuat pusing. Hahaha...
BalasHapusTapi kita tentu saja sangat tertolong dan harus berterima kasih dengan adanya ISBN ini ya. Memudahkan banget jadinya
Aku gak ngerti dulu ini ISBN itu apa kirain kode2 aja yang ada di tiap buku bacaan, ternyata ada artinya dari tiap kelompok
BalasHapusKak sekalian posting dong tata cara mengajukan ISBN umpama ternyata kita ingin menerbitkan indie tapi butuh disebarluaskan
BalasHapusJadi lebih paham perihal ISBN. Makasih buat sharingnya lho, Mbak Dew.
BalasHapusWah keren ya negara kita masuk diurutan ke 6 dari 52 negara soal isbn. Berarti rakyat kita banyak yg kreatif ya. Bisa banyak menerbitkan buku2.
BalasHapusKadang masih ga paham apa gunanya ISBN itu, ternyata bisa untuk pelacakan juga yaa... Untuk penulis ga usah pusing untuk mengurusnya ya, udah bisa dipasrahkan ke penerbitnya.
BalasHapusISBN ini memang gak mudah mendapatkannya ya..
BalasHapusDan aku pikir perkara ISBN ini hanya kareka penerbit. Ternyata ada banyak hal yang memengaruhi yaa...
Baru tau aku soal ISBN ini. Ternyata gak sembarangan bs terbitin buku ya
BalasHapusSeneng Indonesia jadi peringkat keenam yang menerbitkan ISBN artinya banyak orang Indonesia yang jadi penulis, tapi sayangnya ngga diimbangi sama jumlah pembacanya.
BalasHapus